Masalah sosial masih menjadi isu yang sangat hangat untuk diperbincangkan. Mulai dari kemiskinan, kesenjangan sosial,
dan pengangguran adalah contoh kecil dari permasalahan yang ada di negeri ini. Suatu pengharapan yang amat besar dari penulis yang mencurahkan pandangan serta isi hati dan pikiran dalam kumpulan puisi tentang kritik sosial dengan tujuan agar pembaca bisa lebih peka terhadap kenyataan yang dialami sebagian penduduk bangsa ini. Berikut adalah beberapa puisi yang dapat penulis ciptakan.
dan pengangguran adalah contoh kecil dari permasalahan yang ada di negeri ini. Suatu pengharapan yang amat besar dari penulis yang mencurahkan pandangan serta isi hati dan pikiran dalam kumpulan puisi tentang kritik sosial dengan tujuan agar pembaca bisa lebih peka terhadap kenyataan yang dialami sebagian penduduk bangsa ini. Berikut adalah beberapa puisi yang dapat penulis ciptakan.
Anak Kecil
Itu
Setangkai
karangan bunga
Sesudah ia
mulai memanggil musim
25 mei,
Anak kecil
berdiri disamping jalan setapak
Bersama
waktu yang setia melihat perubahan
Disana, ia
mencari sisa nafas kemarin
Berharap
mentari teduh hari ini dan
Kelembutannya
hinggap pada daun, ranting dan seujar rintih
Tak banyak
bahkan tak ada, ia hanya tersenyum tepiskan tangis
Tak terasa
ia menjauh, menuju tempat ia mewaktu berikutnya
Bersama lapar
dan daun melayang
Ia
menanggalkan senyum, membajak ragu diantara tawa ku
Hanya
setetes keangkuhan dari hari ini yang ia terima
Tentu saja
anak kecil itu berlari, merangkak memungut nasi
Untuk
dijadikannya sarana melawan halusinasi kefanaan ini
Namun, ia
tak sendiri, ia bersama setengah sepasang maut di tengah jalan raya
Anak kecil
itu menggoda maut dengan jemari lentik miliknya
Tak pelak
jatuh dan terayun harapan sang maut
Dan
sebungkus nafas yang ia kais mencegah ketakutan yang sangat masuk akal
Aku hanya
terdiam, minum bir dan mabuk menelan duka
Ini dan itu
Kan terasa
bahwa daun merestui angin menampar maut
Ensiklopedi
Kemiskinan
Daun
melayang, jatuh dan sansai
Asing pada
bumi
Sesudah
nyawanya terhembus
Tak sanggup
ia meneteskan air mata
Terlalu
kering
Air beriak
siang dan malam
Ia hanya
berharap
Akan datang
suatu waktu
Dimana ia
tak perlu asing
Ia tak perlu
menjadi parasit
Demi tuhan
Demi sesuap
nasi ikan asin
Demi rumah
kardus
Demi riak
suara para penjaga gagu
Disisi gelap
sudut kota
Perkampungan
sampah
Gerimis pun
musibah
Terbelenggu
tirai pengasingan
Yang terang
adalah impian gelap
Embun tak
lagi murni
Kehilangan
nurani
Senyap sisi
dingin menembus
Tak masalah,
Kapan,
Dimana,
Siapa dia,
Aku disana
Lalu mengapa
Dan
Awan kembali
menghujum dengan
Tajam
mentari
Tak kasihan
Kau di bawah
Tak akan
terarah
Hingga
hinggap daun kembali pada ranting
Salah siapa,
Dia pajak
yang kami bayar
Buat apa
Buat apa
saja yang sekiranya ia butuh
Gedung,
rumah, mobil
Dia butuh.
Tapi ia ingin tetap bersama gubuk dan keringat
Ia berjuang
mengais nafas
Kami hanya rakyat jelata
Setelah
melihat dokumentasi "MAIN KAYU"
Siapa sebenarnya pencuri, Sang penjarah berdiri mengangkang
di balik jubah domba
Layaknya serigala yang haus, dan minum darah milik tetangga
Kadang ia acuh saat berjumpa sesama, bahkan tak ingin
Aku tahu itu, dan kujulurkan tanganku ke kerogkongnanya
untuk ku ambil darah milik tetangganya
Apalah daya, tanganku tak terlalu panjang untuk meraih
lidahnya, kutarik saja tatapan untuk memusuhinya
Serigala itu tak sendiri mengepung rakyat jelata,
Mereka sadar tak butuh aturan yang rumit untuk mengikat
rakyat jelata
Darah rakyat jelata dihisapnya sekaligus
Kami hanya huru hara yang tak peduli siapa yang makan dan
minum di pertigaan pesta hitam
Kong kalikong yang
membosankan dari masa penjajahan belanda,
Rakyat jelata tak butuh kalian semua, kalian lah yang perlu
huru hara kami,
Kuhabiskan minum air putih saat ini dan mencarinya setelah
ini, mungkin hanya itu yang kulakukan di dalam hari yang panjang nan terik.
Aku lelah hanya duduk dan berdoa, kugali lubang besama
namaku,
Menimbun keterasingan ku bersama ketidakpedulianmu, di
pertigaan dimna pesta sedang berlangsung,
Persetan dengan janji diakhir peristiwa pesta,
Kami bukan budak penggarap lahan jati milik negara, bukan
milik mu
Persetan dengan pangkat mu, kau lebih rendah dari kaki bukit
yang selama ini kami tinggali
Siapa sebenarnya pencuri , kami hanya rakyat jelata, yang
ingin tidur nyenyak malam ini dan bekerja untuk diri kami sendiri esaok hari
Siapa itu serigala dengan pistol melolong pada saat kami
lewat
Dan menerkam tepat
di perut yang membuat kami tercabik,
serigala itu saudara kami sebelumnya, tapi entah mengapa ia
doyan makan dan membuat gua dengan emas permata disana, ia lupa siapa yang dulu
mengobati ketika di tembak balanda dan siapa yang mengangkat tangan nya ketika
belanda kalah.
Sekali lagi, kugali lubang bersama namaku, bersama perasaan
saudara yang terhormat, yang mengadili kami yang menggelapkan desa kami, yang
telah menjerat kami.
Namun sayang , aku hanya rakyat jelata
Musim tanpa
senyum
Jika kan
mendengar malam berbicara
Ia akan
menceritakan api yang membakar awan
Disisi
sebelas januari yang hidupnya basah
Hujan tak
kunjung reda malam ini
Tak juga
terdengar kilatan-kilatan dalam hati
Hingga
sebuah fenomena terjadinya kebisuan
Malam yang
panjang, di sisi semburat hujan
Tak juga ada
guratan senyum pada musim kali ini
Yang sajak
nya hinggap di ranting-ranting puisi malam
Telah
terbakar bersama awan
Pesan yang
disampaikan angin pada hujan
Akar pada
daun
Dan laut
pada januari yan basah
Telah
terbakar pula sisi terang malam
Namun akan
semakin gelap saja malam ini
Malam
hanyalah malam
Suara di
ujung
Memanjangkan
lingkungan cahaya serentak
Yang padanya
sinar selembut lagu
Dari
sepasang merpati dan terkuku
Syahdu
Disana padi
berdendang
Rumput
berbanjar, belalang girang, gareng menyeruling
Serentak dan
syahdu
Dari senja
semua emas
Terhujum
waktu yan menyilaukan mata
Tenggelam
dalam siluet yang padanya bulan purnama
Malam ini
tak banyak yang bicara
Katak masih
pada aransemen lama, dan jangkrik terlalu bosan
Guratan
malam membekas pada air
Berjumpa
dari sepasang ekor yang tersalip hingga terjadi keberagaman
Sorak malam
ini
Namun, masih
tak terlalu bising
Ungkin
karena sorot lampu yang penuh amarah mengintai dengan penuh harapan
Itulah saja
realitas hidup sebagai penghuni malam di mata tempat padanya malam hanyalah malam
Dan hidup
hanyalah hidup
Dan mati
sedetik lagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar