Dalam Islam LGBT
dikenal dengan dua istilah, yaitu Liwath (gay)
dan Sihaaq (lesbian). Liwath (gay) adalah perbuatan yang dilakukan oleh laki-laki
dengan cara memasukan dzakar (penis)nya kedalam dubur laki-laki lain. Liwath adalah
suatu kata (penamaan) yang dinisbatkan kepada kaumnya Luth ‘Alaihis salam,
karena kaum Nabi Luth ‘Alaihis salam adalah
kaum yang pertama kali melakukan perbuatan ini (Hukmu al-liwath wa al-Sihaaq,
hal. 1). Allah SWT menamakan perbuatan ini dengan perbuatan yang keji (fahisy)dan melampui batas (musrifun). Sebagaimana Allah terangkan dalam al Quran:
hal. 1). Allah SWT menamakan perbuatan ini dengan perbuatan yang keji (fahisy)dan melampui batas (musrifun). Sebagaimana Allah terangkan dalam al Quran:
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ
الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ ( ) إِنَّكُمْ
لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ
مُسْرِفُونَ ( )
“Dan (Kami juga telah mengutus)
Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa
kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh
seorangpun (di dunia ini) sebelummu. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk
melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, bahkan kamu ini
adalah kaum yang melampaui batas.” (TQS. Al ‘Araf: 80 – 81)
Sedangkan Sihaaq (lesbian) adalah hubungan cinta
birahi antara sesama wanita dengan image dua
orang wanita saling menggesek-gesekkan anggota tubuh (farji’)nya antara satu dengan yang lainnya, hingga
keduanya merasakan kelezatan dalam berhubungan tersebut (Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, Juz 4/hal. 51).
Hukum Sihaaq (lesbian) sebagaimana dijelaskan oleh
Abul Ahmad Muhammad Al-Khidir bin Nursalim Al-Limboriy Al-Mulky (Hukmu al liwath wa al Sihaaq, hal. 13) adalah haram
berdasarkan dalil hadits Abu Said Al-Khudriy yang
diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 338), At-Tirmidzi (no. 2793) dan Abu
Dawud (no. 4018) bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
«لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ
الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ
إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ
فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ».
“Janganlah seorang laki-laki
melihat aurat laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita melihat aurat
wanita lain. Dan janganlah seorang laki-laki memakai satu selimut dengan
laki-laki lain, dan jangan pula seorang wanita memakai satu selimut dengan
wanita lain”
Terhadap pelaku
homoseks, Allah swt dan Rasulullah saw benar-benar melaknat perbuatan tersebut.
Al-Imam Abu Abdillah Adz-Dzahabiy -Rahimahullah- dalam
Kitabnya “Al-Kabair” [hal.40] telah
memasukan homoseks sebagai dosa yang
besar dan beliau berkata: “Sungguh Allah telah menyebutkan kepada kita kisah
kaum Luth dalam beberapa tempat dalam Al-Qur’an Al-Aziz,
Allah telah membinasakan mereka akibat perbuatan keji mereka. Kaum muslimin dan
selain mereka dari kalangan pemeluk agama yang ada, bersepakat bahwa homoseks termasuk dosa besar”.
Hal ini ditunjukkan
bagaimana Allah swt menghukum kaum Nabi Luth yang melakukan penyimpangan dengan
azab yang sangat besar dan dahsyat, membalikan tanah tempat tinggal mereka, dan
diakhiri hujanan batu yang membumihanguskan mereka, sebagaimana dijelaskan
dalam surat Al-Hijr ayat 74:
فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا
وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ سِجِّيل.
“Maka kami jadikan bagian atas
kota itu terbalik ke bawah dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang
keras”
Sebenarnya secara
fitrah, manusia diciptakan oleh Allah swt berikut dengan dorongan jasmani dan
nalurinya. Salah satu dorongan naluri adalah naluri melestarikan keturunan (gharizatu al na’u) yang diantara manifestasinya adalah
rasa cinta dan dorongan seksual antara lawan jenis (pria dan wanita). Pandangan
pria terhadap wanita begitupun wanita terhadap pria adalah pandangan untuk
melestarikan keturunan bukan pandangan seksual semata. Tujuan diciptakan naluri
ini adalah untuk melestarikan keturunan dan hanya bisa dilakukan diantara
pasangan suami istri. Bagaimana jadinya jika naluri melestarikan keturunan ini
akan terwujud dengan hubungan sesama jenis? Dari sini jelas sekali bahwa
homoseks bertentangan dengan fitrah manusia.
Oleh karena itu, sudah
dipastikan akar masalah munculnya penyimpangan kaum LGBT saat ini adalah karena
ideologi sekularisme yang dianut kebanyakan masyarakat Indonesia. Sekularisme
adalah ideologi yang memisahkan agama dari kehidupan (fash al ddin ‘an al hayah).
Masyarakat sekular
memandang pria ataupun wanita hanya sebatas hubungan seksual semata. Oleh
karena itu, mereka dengan sengaja menciptakan fakta-fakta yang terindera dan
pikiran-pikiran yang mengundang hasrat seksual di hadapan pria dan wanita dalam
rangka membangkitkan naluri seksual, semata-mata mencari pemuasan. Mereka
menganggap tiadanya pemuasan naluri ini akan mengakibatkan bahaya pada manusia,
baik secara fisik, psikis, maupun akalnya. Tindakan tersebut merupakan suatu
keharusan karena sudah menjadi bagian dari sistem dan gaya hidup mereka (al Nizham al Ijtima’i fi al Islam, hal. 22). Tidak
puas dengan lawan jenis, akhirnya pikiran liarnya berusaha mencari pemuasan
melalui sesama jenis bahkan dengan hewan sekalipun, dan hal ini merupakan
kebebasan bagi mereka. Benarlah Allah swt berfirman:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ
الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا
يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ
بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan
untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai
hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (TQS Al ‘Araf : 179)
Hukuman Bagi Para Pelaku
LGBT
Pemberlakuan hukuman
dalam Islam bertujuan untuk menjadikan manusia selayaknya manusia dan menjaga
kelestarian masyarakat. Syariat Islam telah menetapkan tujuan-tujuan luhur yang
dilekatkan pada hukum-hukumnya. Tujuan luhur tersebut mencakup; pemeliharaan
atas keturunan (al muhafazhatu ‘ala an nasl),
pemeliharaan atas akal (al muhafazhatu ‘ala al ‘aql),
pemeliharaan atas kemuliaan (al muhafazhatu ‘ala al karamah),
pemeliharaan atas jiwa (al muhafazhatu ‘ala an nafs),
pemeliharaan atas harta (al muhafazhatu ‘ala an al maal),
pemeliharaan atas agama (al muhafazhatu ‘ala al diin),
pemeliharaan atas ketentraman/keamanan (al muhafazhatu ‘ala al amn),
pemeliharaan atas negara (al muhafazhatu ‘ala al daulah)
(Muhammad Husain Abdullah, hal. 100).
Dalam rangka memelihara
keturunan manusia dan nasabnya, Islam telah mengharamkan zina, gay, lesbian dan
penyimpangan seks lainnya serta Islam mengharuskan dijatuhkannya sanksi bagi
pelakunya. Hal ini bertujuan untuk menjaga lestarinya kesucian dari sebuah
keturunan. Berkaitan dengan hukuman pagi para pelaku LGBT, beberapa ulama
berbeda pendapat. Akan tetapi, kesimpulannya para pelaku tetap ahrus diberikan
hukuman. Tinggal nanti bagaimana khalifah menetapkan hukum mana yang dipilih
sebagai konstitusi negara (al Khilafah).Ulama
berselisih pendapat tentang hukuman bagi orang yang berbuat liwath. Diantara beberapa pendapat tentang hukuman
bagi pelaku liwath diantaranya:
Pertama, Hukumannya adalah dengan dibunuh, baik pelaku (fa’il) maupun obyek (maf’ul
bih) bila keduanya telah baligh. Berkata Al-Imam Asy-Syaukani Rahimahullah dalam “Ad-Darariy
Al-Mudhiyah” (hal. 371-372): Adapun keberadaannya orang yang
mengerjakan perbuatan liwathdengan dzakar (penis)nya hukumannya adalah dibunuh,
meskipun yang melakukannya belum menikah, sama saja baik itu fa’il (pelaku) maupun maf’ul bih. Telah
mengkabarkan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad, dari ‘Amr ibnu Abi ‘Amr,dari Ikrimah, dari Ibu Abbas,
berkata Rasulullah SAW:
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ
لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
“Barangsiapa yang kalian
mendapati melakukan perbuatan kaum Luth (liwath), maka bunuhlah fa’il (pelaku)
dan maf’ul bih (partner)nya
Kedua, Hukumannya dirajam, hal ini sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dari Ali bahwa dia pernah merajam orang yang
berbuatliwath. Imam Syafi’y mengatakan: “Berdasarkan dalil
ini, maka kita menggunakan rajam untuk menghukum orang yang berbuat liwath, baik itu muhshon (sudah
menikah) atau selain muhshon. Hal ini
senada dengan Al-Baghawi, kemudian Abu Dawud [dalam “Al-Hudud” Bab 28] dari Sa’id bin Jubair dan
Mujahid dari Ibnu Abbas: Yang belum menikah apabila didapati melakukan liwathmaka dirajam (Lihat “Ad-Darariy Al-Mudhiyah”, hal. 371).
Ketiga, hukumannya sama dengan hukuman berzina.
Pendapat ini seperti ini disampaikan oleh Sa’id bin Musayyab, Atha’ bin Abi
Rabbah, Hasan, Qatadah, Nakha’i, Tsauri, Auza’i, Imam Yahya dan Imam Syafi’i
(dalam pendapat yang lain), mengatakan bahwa hukuman bagi yang melakukan liwath sebagaimana hukuman zina. Jika
pelaku liwath muhshon maka
dirajam, dan jika bukan muhson dijilid
(dicambuk) dan diasingkan. [“Ad-Darariy Al-Mudhiyah”,
(hal. 371)].
Keempat, hukumannya dengan ta’zir, sebagaimana telah berkata Abu
Hanifah: Hukuman bagi yang melakukan liwath adalah
di-ta’zir, bukan dijilid (cambuk) dan bukan pula dirajam
[“Ad-Darariy Al-Mudhiyah”, (hal. 372)]. Abu Hanifah
memandang perilaku homoseksual cukup
dengan ta‘zir. Hukuman jenis ini tidak harus dilakukan secara
fisik, tetapi bisa melalui penyuluhan atau terapi psikologis agar bisa pulih
kembali. Bahkan, Abu Hanifah menganggap perilaku homoseksual bukan masuk pada definisi zina,
karena zina hanya dilakukan pada vagina (qubul), tidak pada dubur (sodomi)
sebagaimana dilakukan oleh kaum homoseksual. (Ahkam As-Syar’iyyah, Darul Ifaq Al-Jadidah).
Sedangkan bagi para
pelaku lesbian, hukumannya adalah ta’zir. Al-Imam Malik Rahimahullahberpendapat
bahwa wanita yang melakukan sihaq, hukumannya
dicambuk seratus kali. Jumhur ulama berpendapat bahwa wanita yang
melakukan sihaq tidak ada hadd baginya, hanya saja ia di-ta‘zir, karena hanya melakukan hubungan yang memang
tidak bisa dengan dukhul (menjima’i
pada farji), dia tidak akan di-hadd sebagaimana
laki-laki yang melakukan hubungan dengan wanita tanpa adanya dukhul pada farji, maka tidak ada had baginya. Dan ini adalah pendapat yang rojih (yang benar) [Lihat “Shohih Fiqhus Sunnah” Juz 4/Hal. 51)].
Sebenarnya sanksi yang
dijatuhkan di dunia ini bagi si pendosa akan mengakibatkan gugurnya siksa di
akhirat. Tentu saja hukuman di akhirat akan lebih dahsyat dan kekal
dibandingkan sanksi yang dilakukan di dunia. Itulah alasan mengapa sanksi –
sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (jawazir) dan
penebus (jawabir). Disebut pencegah karena akan mencegah orang
lain melakukan tindakan dosa semisal, sedangkan dikatakan penebus karena sanksi
yang dijatuhkan akan menggugurkan sanksi di akhirat (Muhammad Husain Abdullah,
hal. 159).
Kesimpulan
Perlu menjadi kesadaran
bagi umat Islam di Indonesia, bahwa LGBT merupakan penyimpangan orientasi
seksual yang dilarang oleh semua agama terlebih lagi Islam. Selain karena
perbuatan keji ini akan merusak kelestarian manusia, yang lebih penting Allah
swt dan Rasulullah melaknat perbuatan kaum Nabi Luth ini. Oleh karena itu,
sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk melawan segala jenis opini yang
seolah atas nama HAM membela kaum LGBT akan tetapi sesungguhnya mereka membawa
manusia menuju kerusakan yang lebih parah.
Disinilah urgensitas
penerapan syariah Islam dalam bingkai Khilafah Islam dengan seperangkat aturan
dan konsep dalam mengatur hubungan diantara pria dan wanita. Aturan Islam akan
senantiasa membentuk ketaqwaan individu, memberi dorongan kepada masyarakat
untuk saling menasihati dan menciptakan lingkungan Islami serta negara yang
menindak tegas para pelaku LGBT sebagai fungsi pencegah dan penebus dosa. [AJ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar